KEPRI (DISDIK)-Di tengah peringatan Hari Disabilitas Internasional 2024, nama Zaharman menjadi sorotan sebagai sosok inspiratif. Guru olahraga dari SMA Negeri 7 Rejang Lebong, Bengkulu ini meraih penghargaan kategori Guru Menginspirasi, berkat dedikasinya selama lebih dari tiga dekade di wilayah terpencil. Tak hanya dikenal karena pengabdiannya, Zaharman juga dihormati atas keteguhannya dalam menghadapi berbagai tantangan berat, baik fisik maupun sosial.
Sejak 1991, Zaharman telah mengabdikan dirinya untuk mendidik di SMA Negeri 7 Rejang Lebong, sebuah sekolah yang terletak di daerah terpencil dan penuh tantangan. Setiap hari, ia menempuh perjalanan jauh melalui medan yang sulit demi mendidik anak-anak di sana. Wilayah tersebut kerap diwarnai tindak kriminal seperti begal, yang membuat situasi semakin tidak aman bagi pendatang. “Lingkungan tempat saya mengajar sangat ekstrem. Bagi pendatang, situasinya cukup rawan,” ungkapnya.
Dilansir dari kemdikbud.go.id, selain ancaman keamanan, ia juga dihadapkan pada tantangan sosial dari masyarakat sekitar. Misalnya, ketidaktertiban warga yang kerap masuk ke lingkungan sekolah saat kegiatan ekstrakurikuler berlangsung, sehingga mengganggu aktivitas siswa. Namun, Zaharman tetap bertahan dan menjadikan tantangan itu sebagai bagian dari perjuangannya.
Salah satu peristiwa paling memilukan dalam karir Zaharman terjadi pada 1 Agustus 2023. Saat menegur seorang siswa yang merokok di lingkungan sekolah, ia mendapat serangan balasan dari orang tua siswa tersebut. Serangan dengan ketapel itu membuat mata kanannya buta permanen. Meski kehilangan penglihatan sebelah, Zaharman tidak menyerah.
“Mata kanan saya memang sudah tidak berfungsi, tapi saya memilih bertahan. Trauma tentu ada, tapi saya merasa ini adalah panggilan hidup saya,” tuturnya dengan ketegaran. Baginya, usia yang mendekati masa pensiun bukan alasan untuk menyerah. Ia juga percaya bahwa tantangan seperti ini akan selalu ada di mana pun ia mengajar.
Kondisi SMA Negeri 7 Rejang Lebong mencerminkan gambaran pendidikan di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). Minimnya fasilitas, kekurangan tenaga pengajar, dan tantangan perilaku siswa menjadi persoalan yang terus dihadapinya. Beberapa guru memilih untuk pindah, sementara jumlah siswa semakin berkurang karena banyak yang lebih memilih sekolah dengan lingkungan yang lebih baik.
Zaharman juga menyoroti perubahan pola asuh orang tua masa kini. “Dulu, jika guru menegur siswa, orang tua akan mendukung. Sekarang, guru dimarahi balik oleh orang tua. Hal ini membuat siswa sulit belajar bertanggung jawab,” katanya.
Penghargaan yang diterima Zaharman adalah bukti nyata bahwa dedikasi tidak pernah sia-sia. Ia berharap kisahnya menjadi motivasi bagi guru-guru lain, khususnya yang mengabdi di daerah 3T, untuk terus berjuang. “Di mana pun kita mengajar, pasti ada tantangan. Tetapi tugas kita adalah mencetak generasi penerus yang mampu membawa perubahan,” ujarnya.
Di akhir wawancara, Zaharman menyampaikan pesan mendalam kepada para pendidik. “Tetaplah bersemangat. Jangan pernah menyerah, meskipun tugas kita berat. Anak-anak yang kita didik adalah masa depan bangsa. Dedikasi kita akan membuahkan hasil bagi mereka,” tutupnya dengan penuh keyakinan.
Kisah Zaharman menjadi pengingat akan pentingnya keteguhan hati dan dedikasi dalam dunia pendidikan. Di tengah segala keterbatasan, ia terus berjuang untuk memastikan anak-anak di daerah terpencil tetap mendapatkan pendidikan. Semangatnya adalah semangat para guru di daerah 3T, yang tanpa kenal lelah mencetak generasi penerus bangsa. Penghargaan yang diterimanya adalah bukti bahwa kerja keras dan ketulusan seorang pendidik akan selalu dikenang (tim).
Editor: Abidin
Sumber : kemdikbud.go.id